Selasa, 26 April 2016

MIKROPALEONTOLOGI



BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mikropaleontologi cabang ilmu palenteologi yang khusus membahas semua sisa-sisa organisme yang biasa disebut mikro fosil.yang dibahas antara laian adalah mikrofosil, klasifikasi, morfologi, ekologi dan mengenai kepentingannya terhadap stratigrafi
Foraminifera adalah organisme bersel tunggal (protista) yang mempunyai cangkang atau test (istilah untuk cangkang internal). Foraminifera diketemukan melimpah sebagai fosil, setidaknya dalam kurun waktu 540 juta tahun. Cangkang foraminifera umumnya terdiri dari kamar-kamar yang tersusun sambung-menyambung selama masa pertumbuhannya. Bahkan ada yang berbentuk paling sederhana, yaitu berupa tabung yang terbuka atau berbentuk bola dengan satu lubang. Cangkang foraminifera tersusun dari bahan organik, butiran pasir atau partikel-partikel lain yang terekat menyatu oleh semen, atau kristal CaCO3 (kalsit atau aragonit) tergantung dari spesiesnya. Foraminifera yang telah dewasa mempunyai ukuran berkisar dari 100 mikrometer sampai 20 sentimeter.
Kegunaan dari mempelajari mikropaleontologi sangat penting bagi geologist karena merupakan sarana penting untuk mengetahui umur batuan dan lingkungan pengendapan suatu daerah, dengan mempelejari mikropaleontologi merupakan aplikasi untuk mengetahui keberadaan minyak dan gas saat diadakan eksplorasi migas.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan di adakan praktikum mikropalenontologi ini adalah :
1.      Untuk mempelajari morfologi atau bentuk, sruktur mikro maupun komposisi kimia dan mineral dari pada mikrofosil tersebut.
2.      Untuk dapat membuat klasifikasi dan mengurut asal-usulnya dalam suatu sistematika yang  benar.
3.      Untuk mempelajari hubungan antara mikrofosil tersebut dan peranannya dalam proses sedimentasi batuan, paleogeografi, stratigrafi dan paleobiologi.
4.      Untuk dapat menentukan lingkungan pengendapan dari mikrofosil dan umur batuan yang mengandungnya.
5.      Untuk dapat menentukan korelasi suatu wilayah.
1.3 Alat dan Bahan
Alat dan Bahan yang di gunakan saat pengambilan sample di lapangan adalah :
1.      Palu Batuan Sedimen
2.      Kompas Geologi
3.      Buku Catatan Lapangan
4.      Alat tulis
5.      Comperator Butir
6.      Plastik Sample
7.      Meteran roll
8.      HCL
9.      H2O
10.  Pasta Gigi
11.  Rinso
12.  Kain Penyaring

Alat dan Bahan yang di gunakan saat proses penguraian batuan adalah :
1.   Kertas HVS
2.   Ayakan
3.   Palu
4.   Karet ban
5.   Karung
6.   Cawan
7.   Air bersih
8.   Plastik sample
9.   Sample batuan
Alat dan Bahan yang di gunakan saat determinasi atau pengamatan :
1.   Mikroskop
2.   Kaca preparat
3.   Jarum pentul
4.   Wadah penyimpan sample
5.   Air bersih
6.   Camera
7.   Fosil foraminifera plantonik
8.   Fosil foraminifera bentonik

1.4  Prosedur Kerja
Adapun prosedur di lapangan sebagai berikut :
1.      Mengukur panjang singkapan


2.      Mengukur strike/dip



3.      Pengambilan Sampel

4.      Menghaluskan sample Batuan Sedimen





5.      Membersihkan Sampel Batuan Sedimen


6.      Memisahkan sample dari air
Adapun prosedur determinasi atau pengamatan adalah sebagai berikut :
1.      Pengayakan

2.      Memindahkan sample yang telah diayak ke plastic sample
3.      Amati sample di bawah loupe, pisahkan fosil plantonik dan bentonik.
4.      Deskripsi fosil tersebut pada lembar deskripsi (ada pada lampiran)
5.      Dokumentasikan foto kegiatan dan foto fosil.
6.      Simpan fosil yang telah di amati pada cawan/preparat yang sudah di sediakan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mikropaleontologi
Mikropaleontologi cabang ilmu palenteologi yang khusus membahas semua sisa-sisa organisme yang biasa disebut mikro fosil.yang dibahas antara laian adalah mikrofosil, klasifikasi, morfologi, ekologi dan mengenai kepentingannya terhadap stratigrafi.
Pengertian Mikrofosil Menurut Jones (1936) :
Setiap fosil (biasanya kecil) untuk mempelajari sifat-sifat dan strukturnya dilakukan di bawah mikroskop. Umumnya fosil ukurannya lebih dari 5 mm namun ada yang berukuran sampai 19 mm seperti genus fusulina yang memiliki cangkang- cangkang yang dimiliki organisme, embrio dari foil-fosil makro serta bagian-bagian tubuh dari fosil makro yang mengamatinya menggunakan mikroskop serta sayatan tipis dari fosil-fosil, sifat fosil mikro dari golongan foraminifera kenyataannya foraminifera mempunyai fungsi/berguna untuk mempelajarinya.
Dari cara hidupnya dibagi menjadi 2 :
1. Pellagic (mengambang)
a.       Nektonic (bergerak aktif)
b.      Lanktonic (bergerak pasif) mengikuti keadaan sekitarnya
2. Benthonic (pada dasar laut)
a.       Secile (mikro fosil yang menambat/menepel)
b.      Vagile (merayap pada dasar laut)
Dari dua bagian itu digunakan pada ilmu perminyakan dimana dari kedua fosil itu identik dengan hidrokarbon yang terdapat pada trap (jebakan). Dalam geologi struktur dimana dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya sesar, kekar serta lipatan.
2.2 Fosil
            Fosil (bahasa Latin: fossa yang berarti “menggali keluar dari dalam tanah”) adalah sisa-sisa atau bekas-bekas makhluk hidup yang menjadi batu atau mineral. Untuk menjadi fosil, sisa-sisa hewan atau tanaman ini harus segera tertutup sedimen. Fosil yang paling umum adalah kerangka yang tersisa seperti cangkang, gigi dan tulang. Fosil jaringan lunak sangat jarang ditemukan. Ilmu yang mempelajari fosil adalah paleontologi, dan ilmu yang mempelajari fosil secara mikro (dengan bantuan mikroskop) adalah mikropaleontologi, cabang ilmu dari geologi.
Jenis fosil ada dua yaitu tipe pertama adalah hewan itu sendiri yang terawetkan. Tulang, daun, cangkang dan hampir semua yang tersimpan berupa benda padat dan keras. Dapat juga secara utuh hewannya terawetkan. Contohnya Mammoth yang terawetkan karena es, atau serangga yang terjebak dalam getah tumbuhan (amber) termasuk fosil kayu. Sedangkan tipe kedua adalah sisa-sisa aktivitasnya. Fosil sisa aktivitas atau Trace Fosil (fosil jejak) karena yang terlihat hanya sisa-sisa aktivitasnya.
A. Kegunaan Dari Mikro Fosil
Beberapa manfaat fosil antara laian sebagai berikut:
a.       Dalam korelasi untu membantu korelasi penampang suatu daerah dengan daerah lain baik bawah permukaan maupun di permukan.
b.      Menentukan umur misalnya umur suatu lensa batu pasir yang terletak di dalam lapisan serpih yang tebal dapat ditentukan dengan mikrofosil yang ada dalam batuan yang melingkupi.
c.       Membantu studi mengenai species.
d.      Dapat memberikan keterangan-keterengan palenteologi yang penting dalam menyusun suatu standar section suatu daerah.
e.       Membantu menentukan batas-batas suatu transgresi/regresi serta tebal/tipis lapisan.
Berdasarkan kegunaannya dikenal beberapa istilah, yaitu :
a.       Fosil indeks/fosil penunjuk/fosil pandu. Yaitu fosil yang dipergunakan sebagai penunjuk umur relatif. Umumnya fosil ini mempuyai penyebaran vertikal pendek dan penyebaran lateral luas, serta mudah dikenal. Contohnya : Globorotalina Tumida penciri N18 atau Miocen akhir.
b.      Fosil bathymetry/fosil kedalaman. Yaitu fosil yang dipergunakan untuk menentukan lingkungan kedalaman pengendapan. Umumnya yang dipakai adalah benthos yang hidup di dasar. Contohnya : Elphidium spp penciri lingkungan transisi.
c.       Fosil horizon/fosil lapisan/fosil diagnostic. Yaitu fosil yang mencirikan khas yang terdapat pada lapisan yang bersangkutan. Contoh : Globorotalia tumida penciri N18.
d.      Fosil lingkungan. Yaitu fosil yang dapat dipergunakan sebagai penunjuk lingkungan sedimentasi. Contohnya : Radiolaria sebagai penciri lingkungan laut dalam.
e.       Fosil iklim. Yaitu fosil yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk iklim pada saat itu. Contohnya : Globigerina Pachyderma penciri iklim dingin.
B. Makna dan Tata Nama Penamaan Fosil
Seorang sarjana Swedia Carl Von Line (1707-1778) yang kemudian melatinkan namanya menjadi Carl Von Linnaeus membuat suatu hukum yang dikenal dengan LAW OF PRIORITY, 1958 yang pada pokoknya menyebutkan bahwa nama yang telah dipergunakan pada suatu individu tidak dipergunakan untuk individu yang lain.
Nama kehidupan pada tingkat genus terdiri dari satu kata sedangkan tingkat spesies terdiri dari dua kata, tingkat subspesies terdiri dari tiga kata. Nama-nama kehidupan selalu diikuti oleh nama orang yang menemukannya. Contoh penamaan fosil sebagai berikut:
a.       Globorotalia menardi exilis Blow, 1998 Arti dari penamaan adalah fosil hingga sub spesies diketemukan oleh BLOW pada tahun 1969
b.      Globorotalia ruber elogatus (D Orbigny), 1826 Arti dari n. sp adalah spesies baru.
c.       Pleurotoma carinata GRAY, Var Woodwardi MARTIN Arti dari penamaan adalah GRAY memberikan nama spesies sedangkan MARTIN memberikan nama varietas.
d.      Globorotalia acostaensis pseudopima n sbsp BLOW, 1969 Arti dari n.sbsp adalah subspecies.
e.       Dentalium (s.str) ruteni MARTIN Arti dari penamaan adalah fosil tersebut sinonim dengan dentalium rutteni yang diketemukan MARTIN.
f.       Globorotalia of tumda  Arti dari penamaan ini adalah penemu tidak yakin apakah bentuk tersebut betul Globorotalia tumida tetapi dapat dibandingkan dengan spesies ini.
g.      Spaeroidinella aff dehiscens Arti dari penamaan tersebut adalah fosil ini berdekatan (berfamily) dengan sphaeroidinella dehiscens. (aff = affiliation)
h.      Ammobaculites spp Artinya mempunyai bermacam-macam spesies
i.        Recurvoides sp Artinya spesies (nama spesies belum dijelaskan)
2.3 Protozoa
            Protozoa berasal dari kata protos yang berarti pertama dan zoo yang berarti hewan sehingga disebut sebagai hewan pertama.

A.    Ciri - ciri:
a.    Habitat: air tawar air laut, tanah, atau ektro maupun endoparasit, dan nutrisinya yaitu holozoik, bakteri, alga, dan lain – lain. Jika kondisi lingkungan tempat hidupnya tidak menguntungkan maka protozoa akan membentuk membran tebal dan kuat yang disebut Kista. Kista, merupakan bentuk sel protozoa yang terdehidrasi dan berdinding tebal mirip dengan endospora yang terjadi pada bakteri. Ilmuwan yang pertama kali mempelajari protozoa adalah Anthony van Leeuwenhoek.
b.   Struktur dan Fungsi Tubuh: Tubuh hewan tersusun atas satu sel, sehingga ukuran protozoa adalah mikro sampai beberapa millimeter. Umumnya tidak dapat membuat makanan sendiri (heterotrof). Protozoa memiliki alat gerak yaitu ada yang berupa kaki semu, bulu getar (cillia) atau bulu cambuk (flagel). Eukariotik atau memiliki membran nukleus/ berinti sejati. Protozoa tidak mempunyai dinding sel.
c.    Cara Hidup: Hidup soliter (sendiri) atau berkoloni (kelompok), Hidup bebas, saprofit atau parasit. Protozoa mampu bertahan hidup dalam lingkungan kering maupun basah.
d.   Reproduksi: Merupakan filum hewan bersel satu yang dapat melakukan reproduksi seksual (generatif) maupun aseksual (vegetatif). Sebagian besar Protozoa berkembang biak secara aseksual (vegetatif) dengan cara:
Ø   pembelahan mitosis (biner), yaitu pembelahan yang diawali dengan pembelahan inti dan diikuti pembelahan sitoplasma, kemudian menghasilkan 2 sel baru. Pembelahan biner terjadi pada Amoeba. Paramaecium, Euglena. Paramaecium membelah secara membujur/ memanjang setelah terlebih dahulu melakukan konjugasi. Euglena membelah secara membujur /memanjang (longitudinal).
Ø   Spora, Perkembangbiakan aseksual pada kelas Sporozoa (Apicomplexa) dengan membentuk spora melalui proses sporulasi di dalam tubuh nyamuk Anopheles. Spora yang dihasilkan disebut sporozoid. Perkembangbiakan secara seksual pada Protozoa dengan cara :
o   Konjugasi, Peleburan inti sel pada organisme yang belum jelas alat kelaminnya. Pada Paramaecium mikronukleus yang sudah dipertukarkan akan melebur dengan makronukleus, proses ini disebut singami.
o   Peleburan gamet Sporozoa (Apicomplexa) telah dapat menghasilkan gamet jantan dan gamet betina. Peleburan gamet ini berlangsung di dalam tubuh nyamuk.
B.      Klasifikasi
protozoa dibagi menjadi 4 kelas berdasar alat gerak, yaitu:
a.       Rhizopoda: Bergerak dengan kaki semu (pseudopodia) yang merupakan penjuluran protoplasma sel. Hidup di air tawar, air laut, tempat-tempat basah, dan sebagian ada yang hidup dalam tubuh hewan atau manusia. Jenis yang paling mudah diamati adalah Amoeba. Ektoamoeba adalah jenis Amoeba yang hidup di luar tubuh organisme lain (hidup bebas), contohnya Ameoba proteus, Foraminifera, Arcella, Radiolaria. Entamoeba adalah jenis Amoeba yang hidup di dalam tubuh organisme, contohnya Entamoeba histolityca, Entamoeba coli.
b.      Flagellata: Biasanya berkisar 10-50 μm, tetapi dapat tumbuh sampai 1 mm, dan mudah dilihat di bawah mikroskop. Mereka bergerak di sekitar dengan cambuk seperti ekor disebut flagella, yang digunakan juga sebagai alat indera dan alat bantu untuk menangkap makanan. Mereka sebelumnya jatuh di bawah keluarga Protista. Dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu : Flagellata autotrofik (berkloroplas), dapat berfotosintesis. Contohnya : Euglena viridis, Noctiluca milliaris, Volvox globator, Zooflagellata. Flagellata heterotrofik (Tidak berkloroplas). Contohnya : Trypanosoma gambiens, Leishmania.
c.       Ciliata: Anggota Ciliata ditandai dengan adanya silia (bulu getar) pada suatu fase hidupnya, yang digunakan sebagai alat gerak dan mencari makanan. Ukuran silia lebih pendek dari flagel. Memiliki 2 inti sel (nukleus), yaitu makronukleus (inti besar) yang mengendalikan fungsi hidup sehari-hari dengan cara mensisntesis RNA, juga penting untuk reproduksi aseksual, dan mikronukleus (inti kecil) yang dipertukarkan pada saat konjugasi untuk proses reproduksi seksual. Ditemukan vakuola kontraktil yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan air dalam tubuhnya. Banyak ditemukan hidup di laut maupun di air tawar. Contoh : Paramaecium caudatum, Stentor, Didinium, Vorticella, Balantidium coli.
d.      Apicomplexa: Tidak memiliki alat gerak khusus, menghasilkan spora (sporozoid) sebagai cara perkembang biakannya. Sporozoid memiliki organel-organel kompleks pada salah satu ujung (apex) selnya yang dikhususkan untuk menembus sel dan jaringan inang. Hidupnya parasit pada manusia dan hewan. Contoh: Plasmodium falciparum, Plasmodium malariae,Plasmodium vivax, Gregarina.
2.4 Foraminifera
            Keanekaragaman Foraminifera yang melimpah dan memiliki morfologi yang kompleks, fosil Foraminifera berguna untuk biostratigrafi dan memberikan tanggal relative yang akurat terhadap batuan. Sedangkan industri minyak sangat tergantung pada Foraminifera yang dapat menentukan deposit minyak potensial (Ryo, 2010). Fosil Foraminifera terbentuk dari elemen yang di temukan di laut sehingga fosil ini berguna dalam paleoklimatologi dan paleoceanografi. Fosil Foraminifera ini dapat digunakan untuk merekonstruksi iklim masa lalu dengan memeriksa isotop stabil rasio oksigen dan sejarah siklus karbon dan produktivitas kelautan dengan memeriksa rasio isotop karbon.
Selain itu, menurut Muhtarto dan Juana (2001), Foraminifera dapat digunakan untuk menentukan suhu air laut dari masa ke masa sejarah bumi. Semakin rendah suhu pada zaman mereka hidup maka semakin kecil dan semakin kompak ukuran selnya dan lubang untuk protoplasma makin kecil. Dengan mempelajari cangkang forams dari sampel yang diambil dari dasar laut dan menghubungkan kedalaman sampel dengan waktu maka suhu samudra dapat diperkirakan sepanjang sejarah. Hal ini membantu menghubungkannnay dengan zaman es di bumi dan memahami pola cuaca umum yang terjadi di masa lalu.
Pada pola geografis fosil Foraminifera juga digunakan untuk merekonstruksi arus laut. Ada beberapa jenis Foraminifera tertentu yang hanya ditemukan di lingkungan tertentu sehingga ini dapat digunakan untuk mengetahui jenis lingkungan di mana sedimen laut kuno disimpan (Ryo, 2010). Selain itu, Foraminifera juga digunakan sebagai bioindikator di lingkungan pesisir termasuk indicator kesehatan terumbu karang. Hal ini dikarenakan kalsium karbonat rentan terhadap pelarutan dalam kondisi asam, sehingga Foraminifera juga terpengaruh pada perubahan iklim dan pengasaman laut. Pada arkeologi beberapa jenis merupakan bahan baku batuan. Beberapa jenis batu seperti Rijang, telah ditemukan mengandung fosil Foraminifera. Jenis dan konsentrasi fosil dalam sampel batu dapat digunakan untuk mencocokkan bahwa sampel diketahui mengandung jejak fosil yang sama (Ryo, 2010).


A.    Tata Cara Pendeskripsian Foraminifera Plankton
Tahapan pendeskripsian foraminifera plankton dapat dilakukan beberapa hal sebagai berikut:
1.      Bentuk Test (Bentuk keseluruhan dari cangkang foraminifera)
a.          Tabular : bentuk tabung.
b.         Bifurcating : bentuk cabang.
c.          Radiate : bentuk radial.
d.         Arborescent : bentuk pohon.
e.          Irregular : bentuk tak teratur.
f.          Hemispherical : bentuk setengah bola.
g.         Zig-zag : bentuk berkelok-kelok.
h.         Spherical : bentuk bola.
i.           Palmate : bentuk daun.
j.           Discoidal : bentuk cakram.
k.         Fusiform : bentuk gabungan.
l.           Biumblicate : mempunyai dua umbilicus.
m.       Biconvex : cembung dikedua sisi.
n.         Flaring : bentuk seperti obor.
o.         Spironvex : cembung disisi dorsal.
p.         Umbiliconvex : cembung disisi ventral.
q.         Lenticular biambornate : bentuk lensa.
2. Bentuk Kamar
a.       Spherical – Hemispherical – Flatilosa
b.      Pyriform – Angular rhomboid – Semicircular
c.       Tabular – Clavate
d.      Globular – Tubuluspinate
e.       Ovate – Neat
f.       Angular truncate – Cyrical
3.Susunan Kamar
1. Planispiral
Sifat-sifatnya:
a.       Terputar pada satu bidang.
b.      Semua kamar telihat.
c.       Pandangan, serta jumlah kamar ventral dan dorsal sama.
2. Trochospiral
Sifat-sifatnya:
a.       Terputar tidak dalam satu bidang.
b.      Pandangan serta jumlah kamar ventral dan dorsal berbeda.
Sisi Ventral:
a.       Jumlah kamar lebih sedikit, karena hanya kamar pada putaran terakhir terlihat.
b.      Terlihat adanya aperture utama.
c.       Terlihat adanya umbilicus.
Sisi Dorsal:
a.       Jumlah kamar lebih banyak.
b.      Semua kamar dan putarannya terlihat.
c.       Kelihatannya adanya putaran.
2.      Bentuk Suture
Suture adalah garis yang terlihat pada dinding luar test dan merupakan perpotongan antara septa dan dinding kamar. Macam-macam bentuk suture adalah:
a.       Tertekan (melekuk), rata atau muncul dipermukaan test.
b.      Lurus, melekuk lemah, sedang dan kuat.
c.       Suture yang mempunyai hiasan.
Keterangan :
a.       Protoculum : kamar utama pada cangkang foraminifera
b.      Septa : sekat-sekat yang memisahkan antar kamar
c.       Suture : garis pertemuan antara septa dengan dinding cangkang
d.      Aperture : lubang utama pada cangkang foraminifera.

3.      Komposisi Test
Penelitian pada cangkang foraminifera resen, dinding cangkang dapat terdiri atas beberapa macam sebagaimana yang dijelaskan berikut ini :
a.       Dinding khitin atau tektin merupakan bentuk dinding yang paling ka nada pada foraminifera. Dinding ini terbuat dari zat ka nad yang menyerupai zat tanduk, fleksibel dan transparan, biasanya berwarna kuning dan tidak berpori (imperforate. Foraminifera yang mempunyai bentuk dinding ini jarang yang ditemukan sebagai fosil (kecuali golongan Allogromidae).
b.      Dinding aglutin atau arenaceous adalah dinding test yang terbuat dari material asing yang direkatkan satu sama lain dengan semen.
c.       Dinding tipe ini jrang ditemukan. Material silikaan dapat dihasilkan oleh organisme itu sendiri atau dapat juga merupakan material sekunder dalam pembentukannya. Contoh foraminifera yang dapat mempunyai dinsing silikaan adalah golongan Ammodiscidae, Hypermminidae, Silicimidae, dan beberapa spesies dari golonhan Miliolidae.
d.      Dinding gampingan, Williamson (1958), dalam pengamatannya pada foraminifera resen, mengklasifikasikan tipe dinding gampingan ini menjadi dua, yaitu dinding porselen dan ka nad. Tetapi, selain kedua tipe ini masih terdapat tipe dinding gampingan yang lain, yaitu dinding gampingan yang granuler dan kompleks.
e.       Dinding porselen terbuat dari zat gampingan, tidak berpori, mempunyai kenampakan seperti porselen, dengan sinar langsung (episkopik) berwarna opak (buram) dan putih, dengan sinar transmisi (diaskopik) berwarna amber.
f.       Dinding ka nad (vitrocalcarea), kebanyakan foraminifera mempunyai dinding tipe ini. Tipe dinding ini merupakan dinding gampingan bersifat bening dan transparan, berpori. Umumnya, yang berpori halus dianggap lebih ka nada daripada yang berpori kasar. Golongan Nadosaridae, Globigerinidae dan Polymorphinidae mempunyai diameter pori sekitar 5-9 µm, sedangkan beberapa jenis lain seperti Anomalina, Planulina dan Cibicides besar lubang pori ± 15 µm.
g.      Dinding gampingan yang granular, kebanyakan foraminifera yang hidup pada zaman Paleozoikum (terutama Awal Paleozoik) mempunyai dinding cangkang yang terdiri atas ka nad kalsit yang granular tanpa ada material asing atau semen, seperti pada Endothyra, beberapa spesies Bradyina, Hyperamina dan beberapa penulis lain beranggapan bahwa materi pembentuk dinding ini dihasilkan oleh binatang itu sendiri. Dalam sayatan tipis, dinding ini tampak gelap.
h.      Dinding gampingan yang kompleks, dinding tipe ini terdapat pada golongan Fusulinidae (foram besar), mempunyai beberapa lapisan yang berdasarkan lapisan-lapisan tersebut kita dapat membedakan antara tipe fusulinellid dan schwagerinid.
4.      Jumlah Putaran dan Jumlah Kamar
a.       Planispiral :
·         jumlah kamar ventral dan dorsal sama banyak.
·         terputar sebanyak satu bidang
b.      Trochospiral :
·         jumlah kamar ventral dan dorsal tidak sama banyak.
·         terputar tidak pada satu bidang.
Adapun cara menghitung jumlah putaran pada cangkang foraminifera kita harus dapat melihat dahulu arah putarannya, apakah searah jarum jam atau berlawanan, ini dapat dilihat dari perkembangan kamarnya mulai dari perkembangan kamar-kamarnya.
Setelah itu ditentukan nomor urutan perkembangan kamarnya mulai dari yang terkecil sampai yang terbesar. Baru ditarik garis yang memotong kamar satu, kamar nomor dua dan kamar terakhir. Selanjutnya menghitung jumlah putarannya.
5.      Aperture
Merupakan lubang utama pada test foraminifera yang biasanya terletak pada bagian kamar yang terakhir. Aperture ini berupa sebuah lubang yang berfungsi untuk memasukkan makanan dan juga untuk mengeluarkan protoplasma. Dengan demikian, aperture berperan penting dalam kehidupan foraminifera itu sendiri dan penting untuk klasifikasi. Khusus foraminifera golongan plankton bentuk maupun variasi aperturenya lebih sedehana, kebanyakan golongan ini mempunyai bentuk aperture utama intreriomarginal. Macam-macam aperture utama interiomarginal:
a.       Primary aperture interiomarginal umbilical adalah aperture utama yang terletak di umbilicus atau pusat putaran.
b.      Primary aperture interiomarginal umbilical extra umbilical adalah aperture interiomarginal terletak pada daerah umbilicus dan melebar sampai peri-peri atau ke tepi.
c.       Primary aperture interiomarginal equatorial adalah aperture interiomarginal yang terletak di daerah equatorial.
d.      Secondary aperture adalah lubang utama dari aperture lain dan lebih kecil, atau lubang tambahandari aperture utama.
e.       Accesory aperture adalah aperture sekunder yang terletak pada struktur tambahan.
6.      Ornamen (Hiasan) Foraminifera
Ornamen adalah aneka struktur mikro yang menghiasi bentuk fisik cangkang foraminifera. Hiasan ini merupakan cerminan dari upaya mikroorganisme ini dalam beradaptasi terhadap lingkungannya. Berdasarkan letaknya hiasan di bagi menjadi :
7.      Pada Suture, antara lain;
a.       Suture bridge : bentuk suture menyerupai jembatan
b.      Suture limbate : bentuk suture yang tebal
c.       Retral processes : bentuk suture zig-zag
d.      Raised bossed : suture yang berbentuk benjolan-benjolan
8.       Pada Umbilicus, antara lain;
a.       Deeply umbilicus : umbilicus yang berlubang dalam
b.      Open umbilicus : umbilicus yang terbuka lebar
c.       Umbilicuc plug : umbilicus yang mermpunyai penutup
d.      Ventral umbo : umbilicus yang menonjol di permukaan.
9.       Pada Peripheri, antara lain;
a.       Keel : lapisan tepi yang tipis dan bening
b.      Spine : bentuk luar daripada cangkang menyerupai duri
10.   Pada Aperture, antara lain;
a.       Lip atau rim : bibir aperture yang menebal
b.      Flap : bibir aperture menyerupai anak lidah
c.       Tooth : bentuk menyerupai gigi
d.      Bulla dan Tegilla :Bulla berbentuk segi enam teratur, Tegilla berbentuk segi enam tidak teratur.
11.  Pada Permukaan Test, antara lain;
a.       Smooth : permukaan yang licin
b.      Punctate : permukaan yang berbintik-bintik
c.       Reticulate : permukaan seperti sarang madu
d.      Pustucolate : permukaan dipenuhi oleh tonjolan-tonjolan bulat   
Pengelompokan Fosil Foraminifera
Berdasarkan cara hidupnya Foraminifera terbagi menjadi 2, yaitu:
a.       Foraminifera plantonik yang hidup mengambang mengikuti arus dan di pakai untuk menentukan umur batuan.
b.      Foraminifera bentonik yang hidup di dasar laut dan di pakai untuk menentukan lingkungan pengendapan.
2.5 Penentuan Umur
Foraminifera dapat digunakan untuk menentukan umur batuan serta untuk mengetahui struktur geologi apa saja yang terjadi pada suatu daerah seperti sesar, lipatan dan kekar. Berikut ini adalah contoh penggunaan foraminifera dalam menetukan umur batuan.
- Sesuai dengan hukum superposisi yaitu lapisan yang berada paling bawah merupakan lapisan batuan yang paling tua dan lapisan yang paling muda berada di paling atas.
- Satuan batuannya selaras karena susunan lapisan batuannya dari yang tua sampai yang muda berurutan.
Rentang waktu kedua dan ketiga masing-masing merupakan subbagian dari garis waktu sebelumnya yang ditandai dengan atau tanda bintang (asterisk). Holosen, (kala terakhir) terlalu kecil untuk dapat terlihat jelas pada garis waktu ini.
Dalam bahasa Inggris, berturut-turut skala waktu geologi dari yang terbesar adalah eoneraperiodepoch, dan stage. Dalam bahasa Indonesia, eon kadang diterjemahkan menjadi masaperiodditerjemahkan menjadi periode atau zaman, sedangkan epoch diterjemahkan menjadi kala.
Tabel berikut memberikan ringkasan peristiwa-peristiwa utama dan karakteristik pada periode waktu yang membentuk skala waktu geologi. Seperti diagram di atas, skala waktu ini didasarkan padaInternational Commission on Stratigraphy. Tinggi tiap baris tidak menggambarkan rentang waktu tiap subdivisi waktu.
Table 2.1 zonasi Blow 1969
2.6 Penentuan Lingkungan Pengendapan
Foraminifera benthonik memiliki habitat pada dasar laut dengan cara hidup secara vagile (merambat/merayap) dan sessile (menambat). Alat yang digunakan untuk merayap pada benthos yang vagile adalah pseudopodia. Terdapat yang semula sesile dan berkembang menjadi vagile serta hidup sampai kedalaman 3000 meter di bawah permukaan laut. Material penyusun test merupakan agglutinin, arenaceous, khitin, gampingan.
Foraminifera benthonik sangat baik digunakan untuk indikator paleoecology dan bathymetri, karena sangat peka terhadap perubahan lingkungan yang terjadi. Faktor-faktor yang mempengaruhi ekologi dari foraminifera benthonic ini adalah :
a.       Kedalaman laut
b.      Suhu/temperature
c.       Salinitas dan kimia air
d.      Cahaya matahari yang digunakan untuk fotosintesis
e.       Pengaruh gelombang dan arus (turbidit, turbulen)
f.       Makanan yang tersedia
g.      Tekanan hidrostatik dan lain-lain.
Faktor salinitas dapat dipergunakan untuk mengetahui perbedaan tipe dari lautan yang mengakibatkan perbedaan pula bagi ekologinya. Streblus biccarii adalah tipe yang hidup pada daerah lagoon dan daerah dekat pantai. Lagoon mempunyai salinitas yang sedang karena merupakan percampuran antara air laut dengan air sungai.
Table 2.2 zonasi Lingkungan Pengendapan















BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 FORAMINIFERA BENTONIK
3.1.1 Globigerina Collacten ( Pincy )
Nomor Peraga 03 middle Fosil ini adalah jenis fosil Bentonik yang memiliki susunan kamar Throcospiral,bentuk kamarnya elips, suturenya melengkung lemah, aperturenya utama, komposisinya aglutine, jumlah kamarnya pada ventral ada 5 dan jumlah kamar pada dorsal ada 6. Hiasannya pori – pori pada permukaan test, Jumlah putarannya pada ventral 5 dan dorsal 5.
Gambar 3.1.1 Globigerina Collacten ( Pincy )
3.1.2 Globigerina Ampliapertura Bolli
Nomor peraga 02 middle Fosil ini adalah jenis fosil Bentonik yang memiliki susunan kamar Throcospiral,bentuk kamarnya elips, suturenya melengkung lemah, aperturenya utama, komposisinya aglutine, jumlah kamarnya pada ventral ada 1 dan jumlah kamar pada dorsal ada 2. Hiasannya berbintik-bintik Jumlah putarannya pada ventral 1 dan dorsal 2
3.1.2 Globigerina Ampliapertura Bolli

3.1.3 Frondiculama Lomaensis
Nomor Peraga 08 middle Fosil ini adalah jenis fosil Bentonik yang memiliki susunan kamar Throcospiral, bentuk kamarnya elips, suturenya melengkung kuat, aperturenya utama, komposisinya aglutine, jumlah kamarnya pada ventral ada 6 dan jumlah kamar pada dorsal ada 6. Hiasannya membentuk kamar seperti kaca, Jumlah putarannya pada ventral 7 dan dorsal 7.
Gambar 3.1.3 Frondiculama Lomaensis
3.1.4 Globotruncana Rensigandolfi
Nomor peraga 13 Fosil ini adalah jenis fosil Bentonik yang memiliki susunan kamar Throcospiral,bentuk kamarnya elips, suturenya melengkung kuat, aperturenya utama, komposisinya aglutine, jumlah kamarnya pada ventral ada 3 dan jumlah kamar pada dorsal ada 3, Jumlah putarannya pada ventral 3 dan dorsal 5 Hiasannya memiliki pori –pori dibagian kamar
.
3.1.4 Globotruncana Rensigandolfi
3.1.5 Globigerina Daubjergensis Brinnman
Nomor peraga 11 middle Fosil ini adalah jenis fosil Bentonik yang memiliki susunan kamar Throcospiral,bentuk kamarnya elips, suturenya melengkung lemah, aperturenya utama, komposisinya aglutine, jumlah kamarnya pada ventral ada 3 dan jumlah kamar pada dorsal ada 2, Jumlah putarannya pada ventral 3 dan dorsal 2  Hiasannya memiliki pori – pori dibagian kamar.

3.1.5 Globigerina Daubjergensis Brinnman
3.1.6 Globigeronoides Rubery
Nomor Peraga 12 middle Fosil ini adalah jenis fosil Bentonik yang memiliki susunan kamar Throcospiral,bentuk kamarnya elips, suturenya melengkung kuat, aperturenya utama, komposisinya aglutine, jumlah kamarnya pada ventral ada 8 dan jumlah kamar pada dorsal ada , Jumlah putarannya pada ventral 7 dan dorsal 6 Hiasannya memiliki pori – pori dibagian kamar dan pinggirinnya terdapat spin
.
3.1.6 Globigeronoides Rubery
3.1.7 Glaboratalia Fohsi Ceshman and Ecklisor
Nomor peraga 07 Fosil ini adalah jenis fosil Bentonik yang memiliki susunan kamar Throcospiral,bentuk kamarnya elips, suturenya melengkung kuat, aperturenya utama, komposisinya aglutine, jumlah kamarnya pada ventral ada 3 dan jumlah kamar pada dorsal ada 3 Jumlah putarannya pada ventral 3 dan dorsal 5 Hiasannya pinggiran dihiasi keel
.
3.1.7 Glaboratalia Fohsi Ceshman and Ecklisor
3.1.8 Globotrulana Stuarti
Nomor Peraga 10 Fosil ini adalah jenis fosil Bentonik yang memiliki susunan kamar Throcospiral, bentuk kamarnya elips, suturenya melengkung kuat, aperturenya utama, komposisinya aglutine, jumlah kamarnya pada ventral ada 9 dan jumlah kamar pada dorsal ada 7, Jumlah putarannya pada ventral 8 dan dorsal 8 Hiasannya memiliki pori – pori dipermukaan kamar.
3.1.8 Globotrulana Stuarti
3.1.9 Uniserial
Nomor peraga 06 Fosil ini adalah jenis fosil Bentonik yang memiliki susunan kamar Throcospiral, bentuk kamarnya elips, suturenya melengkung kuat, aperturenya utama, komposisinya aglutine, jumlah kamarnya pada ventral ada 6 dan jumlah kamar pada dorsal ada 6, Jumlah putarannya pada ventral 6 dan dorsal 1 Hiasannya memiliki pori – pori pada permukaan kamar.
3.1.9 Uniserial

3.1.10 Globigerina Boweri ( TODD )
Nomor Peraga 01 Fosil ini adalah jenis fosil Bentonik yang memiliki susunan kamar Throcospiral, bentuk kamarnya elips, suturenya melengkung kuat, aperturenya utama, komposisinya aglutine, jumlah kamarnya pada ventral ada 6 dan jumlah kamar pada dorsal ada 6, Jumlah putarannya pada ventral 6 dan dorsal 1 Hiasannya memiliki pori –pori pada permukaan kamar.
3.1.10 Globigerina Boweri Boll

3.2 FORAMINIFERA PLANTONIK
3.2.1 Cossigennella Chipochensis
Nomor peraga 04 Fosil ini adalah jenis fosil Plantonik yang memiliki susunan kamar throcospiral, bentuk kamarnya elips, suturenya depressed, aperturenya intermorginal, komposisinya hyaline, jumlah kamarnya pada ventral ada 4 dan jumlah kamar pada dorsal ada 4. Jumlah putarannya pada ventral ada 4 dan pada dorsal ada 5,Hiasan memiliki pori – pori di permukaan kamar. Umur ( p18 – p13 )
3.2.1 Cossigennella Chipochensis
3.2.2 Globorotalia Obesa Bolli
Nomor peraga 05 Fosil ini adalah jenis fosil Plantonik yang memiliki susunan kamar throcospiral, bentuk kamarnya elips, suturenya melengkung kuat, aperturenya utama, komposisinya hyaline, jumlah kamarnya pada ventral ada 5 dan jumlah kamar pada dorsal ada 6. Jumlah putarannya pada ventral ada 4 dan pada dorsal ada 1,Hiasan memiliki pori – pori di permukaan kamar. Umur ( N5 – N23 )
3.2.2 Globorotalia Obesa Bolli
3.2.3 Troporoctaides Topilinsis ( Burman )
Nomor peraga 09 Fosil ini adalah jenis fosil Plantonik yang memiliki susunan kamar throcospiral, bentuk kamarnya elips, suturenya melengkung kuat, aperturenya utama, komposisinya hyaline, jumlah kamarnya pada ventral ada 3 dan jumlah kamar pada dorsal ada 2. Jumlah putarannya pada ventral ada 2 dan pada dorsal ada 3,Hiasan memiliki duri – duri di permukaan kamar.
3.2.3 Troporoctaides Topilinsis ( Burman )
3.2.4  Detalina Pseudoo Buqua
Nomor peraga 14 Fosil ini adalah jenis fosil Plantonik yang memiliki susunan kamar throcospiral, bentuk kamarnya elips, suturenya depressed, aperturenya intermorginal, komposisinya hyaline, jumlah kamarnya pada ventral ada 4 dan jumlah kamar pada dorsal ada 4. Jumlah putarannya pada ventral ada 4 dan pada dorsal ada 5,Hiasan memiliki pori – pori di permukaan kamar.
3.2.4  Detalina Pseudoo Buqua
3.2.5 Vaginulina Olssoni
Nomor peraga 18 Fosil ini adalah jenis fosil Plantonik yang memiliki susunan kamar throcospiral, bentuk kamarnya memanjang, suturenya melengkung lemah, aperturenya intermorginal, komposisinya hyaline, jumlah kamarnya pada ventral ada 7 dan jumlah kamar pada dorsal ada 7. Jumlah putarannya pada ventral ada 8 dan pada dorsal ada 8,Hiasan memiliki putaran transparan.
3.2.4 Vaginulina Olssoni
3.2.6 Noposaria Weaveri
Nomor peraga 20 Fosil ini adalah jenis fosil Plantonik yang memiliki susunan kamar throcospiral, bentuk kamarnya memanjang, suturenya melengkungkung kuat, aperturenya utama, komposisinya hyaline, jumlah kamarnya pada ventral ada 9 dan jumlah kamar pada dorsal ada 9. Jumlah putarannya pada ventral ada 10 dan pada dorsal ada 10,Hiasan memiliki putaran transparan
.
3.2.6 Noposaria Weaveri
3.2.7 Spanodosaria Montereyana
Nomor peraga 16 Fosil ini adalah jenis fosil Plantonik yang memiliki susunan kamar throcospiral, bentuk kamarnya lonjong sampai memanjang, suturenya melengkug lemah, aperturenya utama, komposisinya hyaline, jumlah kamarnya pada ventral ada 8 dan jumlah kamar pada dorsal ada 8. Jumlah putarannya pada ventral ada 7 dan pada dorsal ada 7,Hiasan memiliki duri – duri dan  pori – pori di permukaan kamar.
3.2.6 Spanodosaria Montereyana
3.2.8 Nodogerina Tappani
Nomor peraga 17 Fosil ini adalah jenis fosil Plantonik yang memiliki susunan kamar throcospiral, bentuk kamarnya memanjang, suturenya melengkung lemah, aperturenya utama, komposisinya hyaline, jumlah kamarnya pada ventral ada 15 dan jumlah kamar pada dorsal ada 15. Jumlah putarannya pada ventral ada 13 dan pada dorsal ada 13,Hiasan memiliki lingkaran transparan
.
3.2.7 Nodogerina Tappani
3.2.9 Shiponodosaria
Nomor peraga 19 Fosil ini adalah jenis fosil Plantonik yang memiliki susunan kamar throcospiral, bentuk kamarnya memanjang, suturenya melengkung kuat, aperturenya utama, komposisinya hyaline, jumlah kamarnya pada ventral ada 8 dan jumlah kamar pada dorsal ada 8. Jumlah putarannya pada ventral ada 8 dan pada dorsal ada 8,Hiasan memiliki putaran transparan
.
3.2.8 Shiponodosaria Moteneyana
3.2.10 Orthokars Tenia Shastaensis
Nomor peraga 15 Fosil ini adalah jenis fosil Plantonik yang memiliki susunan kamar throcospiral, bentuk kamarnya membulat panjang, suturenya melengkung lemah, aperturenya utama, komposisinya hyaline, jumlah kamarnya pada ventral ada 5 dan jumlah kamar pada dorsal ada 3. Jumlah putarannya pada ventral ada 5 dan pada dorsal ada 4,Hiasan memiliki pori – pori dan duri –duri
.
3.2.10 Orthokars Tenia Shastaensi
UMUR

































LP































BAB IV
PENUTUP
4.1  Kesimpulan
Foraminifera adalah organisme bersel tunggal yang hidupnya secara akuatik (terutama hidup di laut, mungkin seluruhnya), mempunyai satu atau lebih kamar yang terpisah satu sama lain oleh sekat (septa) yang ditembusi oleh banyak lubang halus (foramen). Terdapat 2 jenis foraminifera yaitu foraminifera plantonik yang hidup mengikuti arus dan di pakai untuk menentukan umur, dan foraminifera bentonik yang di pakai untuk menentukan lingkungan pengendapan.
Kegunaan dari mempelajari mikropaleontologi sangat penting bagi geologist karena merupakan sarana penting untuk mengetahui umur batuan dan lingkungan pengendapan suatu daerah, dengan mempelejari mikropaleontologi merupakan aplikasi untuk mengetahui keberadaan minyak dan gas saat diadakan eksplorasi migas
Dari kandungan fosil plantonik yang kita dapat dari sample lapangan yaitu berumur relatif N19 – N20 plistosen.
Sedangkan kandungan fosil bentonik penentuan lingkungan pengendapannya relatif di lower bathial (1000-4000 M) .













DAFTAR PUSTAKA
Blow, W.H., 1969, Late Middle  Eocene to Recent planktonic foraminiferal
Buku Penuntun Praktikum Mikropaleontologi. H. Loise Taran ST
http://harpani.blogspot.com/2012/04/aplikasi-foraminifera.html
Micropaleontology, Elsevier, Amsterdam. pp. 19-77
planktonic foraminifera. Assoc. Venezolana Geol., Min. Petrol., Bol. Inf., v. 9, h. 3-32.
Pringgoprawiro, H., 1983,  Biostratigrafi  dan paleogeografi Cekungan Jawa Timur Utara, suatu pendekatan baru. Disertasi Doktor, ITB, Bandung, 239 h.




























LAMPIRAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar